Kamis, 06 Oktober 2011

SMS Premium dapat "menggerus" pulsa telpon genggam dalam seketika

06/10/2011 11:19
S
ekarang di Stasiun Televisi, sedang marak dibicarakan penyanyi dangdut berjudul ALAMAT PALSU “yang katanya” mahasiswa dari salah satu Universitas terkemuka di daerah Depok. Ya, tak lain dan tak bukan dia adalah “AYU TING-TING. Namun,  untuk sekarang ini, ada berita yang masih hangat. Yaitu “pencurian” pulsa. Pencurian pulsa yang diduga dilakukan oleh CP (content provider/penyedia konten) nakal, menunjukkan bahwa BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) “mandul” dan tidak efektif. Tugas pengawasan yang diemban BRTI tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga ulah yang merugikan masyarakat itu seperti dibiarkan saja.

Kesimpulan itu merupakan salah satu hasil dari bahasan yang dilakukan oleh pengurus IMOCA (Indonesia Mobile and Online Content Provider Association) pekan lalu. “Kami khawatir BRTI terkontaminasi sehingga pekerjaan utamanya mengawasi berbagai pelanggaran tidak efektif,” kata Ketua IMOCA A. Haryawirasma, kepada pers Senin (3/10/2011) di Jakarta.
Seperti diketahui, akhir-akhir ini kejahatan pencurian pulsa pelanggan operator telekomunikasi marak kembali. Surat pembaca di berbagai media nyaris tidak pernah sepi dari keluhan pelanggan dari berbagai operator telekomunikasi. Para pembaca yang notabene adalah pelanggan operator, mengeluhkan seringnya ada SMS yang menawarkan sesuatu yang tidak jelas dengan iming-iming gratis, ternyata ujung-ujungnya konten dengan harga premium dan secara periodik memotong pulsa pelanggan. Keadaan makin parah karena ketika pelanggan mau menghentikan layanan (UNREG) susah karena tidak ada penjelasan yang cukup.
Saking jengkelnya pelanggan terhadap pencurian pulsa berkedok penjualan konten, mereka membuat halaman khusus di Facebook (FB) yang sudah diikuti belasan ribu masyarakat yang muak dengan masalah tersebut. Mereka menamakan grupnya dengan judul "Stop Pencurian Pulsa dengan Modus Menjual Content".
Dalam halaman grup itu, facebookers yang tergabung di dalamnya mengutuk aksi yang merugikan. Tidak hanya ke penyedia konten, operator pun menjadi sasaran kekesalan mereka akibat pulsa terpotong secara paksa oleh para CP nakal.
Menurut Sekjen IMOCA Ferrij Lumoring, apabila BRTI bersungguh-sungguh melindungi masyarakat, kejadian seperti itu mestinya tidak terjadi. Sebab, di BRTI berkumpul orang-orang hebat yang memahami bisnis, hukum, dan teknis. Jadi tidak ada alasan bagi BRTI untuk tidak menyelesaikan masalah tersebut. Apalagi, tambah Ferrij, BRTI sudah dibekali peraturan menteri (Permen) No.1/Per/M.Kominfo/01/2009 yang dikeluarkan pada 8 Januari 2009 lalu. ”Semestinya BRTI tidak ragu untuk bertindak menindak setiap pelanggaran yang merugikan masyarakat,” tegas Ferrij. Menkominfo mesti membereskan BRTI dulu agar bekerja dengan benar.
Selama ini, yang sering berteriak untuk memfasilitasi adalah pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Sementara dari dalam IMOCA, secara organisasi juga sering memberikan pengawasan internal kepada anggota yang nakal. Namun, IMOCA tidak bisa maksimal karena posisinya hanya bisa menghimbau karena tidak dilindungi peraturan atau payung hukum yang memadahi untuk melakukan penertiban.
Kecuali itu, IMOCA sendiri secara bisnis juga bermitra dengan operator, sehingga yang maksimal dilakukan oleh IMOCA adalah memberikan surat pemberitahuan ke operator atas pelanggaran yang ditemukan oleh IMOCA. Apabila pihak BRTI menyatakan bahwa pencurian itu merupakan kesalahan operator dan CP, mestinya BRTI tidak berhenti hanya di tingkat wacana. ”BRTI semestinya mengambil inisiatif untuk menertibkan hal itu secara cepat dan tegas karena tindakannya dilindungi oleh peraturan menteri.”
Ferrij memberikan contoh, penipuan jebakan yang dari tahun ke tahun berkembang. Bila dulu hanya berupa SMS nomor pendek (4 digit) misalnya 92XX atau 93XX, sekarang memakai teknologi UMB (USSD menu browser) misalnya *567*77# atau *393*80# dan memakai WAP (URL), sehingga pelanggan tidak mudah melakukan penghentian konten (unreg).
Menurut Direktur Operasi IMOCA Tjandra Tedja, pelanggaran itu biasanya dilakukan oleh CP nakal dengan cara ‘mengakali’ operator. Sebelum mengeluarkan sebuah produk layanan konten, CP harus memberikan deskripsi produknya terlebih dahulu kepada operator. Setelah disetujui operator, produk itu harus melalui tahapan UAT (user acceptance test). Dari semua itu operator akan mengetahui alur dari konten mulai dari mekanisme penawaran/ penjualan, pentarifan dan mekanisme pengiriman kontennya. Tapi, yang biasa dilakukan oleh CP nakal adalah melakukan penawaran/penjualan yang bertendensi mengakali masyarakat yang berbeda dengan mekanisme penawaran/penjualan yang sudah disetujui oleh operator.
Kalau BRTI proaktif mengambil sample random penawaran/penjualan konten yang dilakukan melalui media TV maupun broadcast SMS secara massal, pasti akan dapat memberikan peringatan kepada CP nakal tersebut. “BRTI faham soal alur teknis produk konten itu. Tinggal kesungguhan saja, mau apa tidak menertibkan,” kata Tjandra. Meski demikian Tjandra tidak mau berburuk sangka bahwa pengurus BRTI tidak berdedikasi. “Nggak lah, mereka itu orang-orang terpilih, saya yakin mereka masih punya integritas.”
Selain oleh CP nakal, pencurian pulsa oleh oknum masyarakat juga dimungkinkan. Biasanya mereka membuat aplikasi tertentu, kemudian mengirimi penawaran tertentu ke banyak orang. Apabila orang itu meresponse tawaran tersebut, maka aplikasi penyedotannya jalan. Namun untuk hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
IMOCA sendiri, menurut Tjandra, masih menerima pengaduan dari anggota masyarakat. Namun karena selama ini pengaduan ke IMOCA tidak efektif yang maksimal hanya menghimbau, maka jadinya tidak bisa maksimal. Selain itu, IMOCA juga tidak memiliki payung hukum soal ini. Selain keluhan pelanggan, tak jarang terjadi anggota IMOCA yang baik-baik mempermasalahkan adanya CP yang nakal yang bukan anggota IMOCA. Tentu hal ini susah ditindaklanjuti oleh IMOCA, karena selain CP yang nakal itu bukan anggota IMOCA, yang semestinya menertibkan sesuai dengan hukum adalah BRTI.
Jumlah CP dari tahun ke tahun menurut Rasmo mengalami penurunan. Bila pada tahun 2005 lalu ada 200 CP, lambat laun anggota IMOCA menurun berbarengan dengan menurunnya pendapatan dari penjualan konten. Penyebab penurunan karena banyak CP nakal yang menyedot pulsa pelanggan sehingga persepsi masyarakat terhadap konten menjadi negatif dan menyebabkan industri konten terpuruk. Saat ini, yang aktif di IMOCA sekitar 60 namun yang bisnisnya masih bagus tidak lebih dari 40. Banyak anggota yang sudah memindahkan bisnisnya di luar konten.
Meski mengkritik soal ini, Rasmo sebagai komandan IMOCA merasa yakin bahwa bisnis ini masih bisa diperbaiki. Untuk itu, bila pihak BRTI bekerjasama dengan para operator telekomunikasi dan YLKI secara bersama-sama akan bisa membantu masyarakat. Sebab, bisnis apapun ujungnya adalah konsumen. Sekali konsumen tersakiti, maka akan kapok, akibatnya konten semakin dijauhi masyarakat. “Ini yang dari dulu kita khawatirkan,” kata Rasmo.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Muhajir Ibnu Sabil. All rights reserved.